Model Kepemimpinan Kontingensi
(Contingency Model)
Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara
karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel
situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang
berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan
kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek
keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah
laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model
kontingensi karena model tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin
terhadap efektifitas kinerja kelompok tergantung pada cara atau gaya
kepemimpinan (leadership style) dan kesesuaian situasi (the favourableness of
the situation) yang dihadapinya. Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang
mempengaruhi kesesuaian situasi dan ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi
keefektifan pemimpin. Ketiga faktor tersebut adalah hubungan antara pemimpin
dan bawahan (leader-member relations), struktur tugas (the task structure) dan
kekuatan posisi (position power).
Hubungan antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai
sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti
petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas
dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi
tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang
baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan
yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk
menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka
masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin
(misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan,
promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain,
Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh
interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House
1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4
kelompok: supportive
leadership (menunjukkan
perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang
bersahabat), directive
leadership (mengarahkan
bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership(konsultasi
dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang
menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
MenurutPath-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat
menentukan efektifitas pemimpin adalah karakteristik pribadi para
bawahan/karyawan dan lingkungan internal organisasi seperti misalnya peraturan
dan prosedur yang ada. Walaupun model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih
sempurna dibandingkan modelmodel sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan
dalam organisasi, namun demikian model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi
yang jelas tentang kombinasi yang paling efektif antara karakteristik pribadi,
tingkah laku pemimpin dan variabel situasional.
Teori
kepeminmpinan vroom & yetton
Teori kepeminmpinan
vroom & yetton adalah jenis teori kontingensi yang menitikberatkan pada hal
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin. Teori vroom dan yetton juga
di sebut teori normative karena mengarah pada pemberian suatu rekomendasi
tentang gaya kepemimpinan yang sebaiknya di gunakan dalam situasi tertentu.
Dalam hal ini ada 5 jenis cirri pengambilan keputusan dalam teori ini :
1. A-I : pemimpin mengambil sendiri keputusan berasarkan informasi yang ada
padanya saat itu.
2. A-II : pemimpin memperoleh informasi dari bawahannya dan mengambil keputusan
berdasarkan informasi yang didapat. jadi peran bahawan hanya memberikan
informasi, bukan memberikan alternatif.
3. C-I : pemimpin memberitahukan masalah yang sedang terjadi kepada bawahan
secara pribadi, lalu kemudian memperoleh informasi tanpa mengumpulkan semua
bawahannya secara kelompok, setelah itu mengambil keputusan dengan
mempertimbangkan/ tidak gagasan dari bawahannya.
4. C-II : pemimpin mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, lalu
menanyakan gagasan mereka terhadap masalah yang sedang ada, dan mengambil
keputusan dengan mempertimbangkan/tidak gagasan bawahannya
5. G-II : pemimpin memberitahukan masalah kepada bawahanya secara berkelompok,
lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya, dan mengambil keputusan yang
disetujui oleh semua pihak.
Contoh kepemimpinan yang menggunakan gaya kepemimpinan vroom dan yetton dalam
mengambil keputusan adalah ketua Osis. Apabila dalam melaksanakan tugas
mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan ketua Osis selalu meminta
pendapat dari bawahannya. Dengan mengadakan rapat Osis di mana setiap anggota
berkumpil dan memberikan saran atas msalah yang di hadapi. Contohnya dalam
menyelenggarakan hari kemerdekaan, bagaimana acara dapat berjalan dengan lancar
serta bagaimana mendapatkan dana untuk menyelenggarakan acara tersebut. Ketua
Osis menampung semua pendapat dari bendahara, seksi acara, seksi humas dll.
Dari contoh di atas dapat di ambil kesimpilan bahwa ketua Osis memakai gaya
kepemimpinan G-II yaitu pemimpin memberitahukan masalah kepada bawahanya secara
berkelompok, lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya, dan mengambil
keputusan yang disetujui oleh semua pihak.
Model jalan
tujuan ( Path-Goal Theory)
Sekarang ini salah satu
pendekatan yang paling diyakini adalah teori path-goal, teori path-goal adalah
suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang
menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating
structure dan consideration serta teori pengharapan
motivasi.
Dasar dari teori ini
adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai
tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan
untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi
secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari
keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu
anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan
penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins,
2002).
Menurut teori path-goal, suatu
perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh
mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin
akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan
dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan,
dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).
Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin.
Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader,
participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan
dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa
pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan
bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku
yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha
meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini,
pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif,
kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teorinya disebut
sebagai path-goal karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan
mempengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri,
dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan
bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan
menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai
hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory)
menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan
antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari
hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan
produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang
mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga
mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah mereka yang membantu
bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Secara mendasar, model
ini menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan untuk
mempengaruhi persepsi bawahan tentang pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan
juga menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin untuk
memotivasi dan memberikan kepuasan kepada bawahannya. Model path-goal menganjurkan
bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
- Fungsi Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
- Fungsi Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk
fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan.
Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai
berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
- Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan
memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan
jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan
bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas
tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan
pengawasan.
- Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah
dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua
bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan
kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang
menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan
pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami
frustasi dan kekecewaan.
- Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif
berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum
mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan
motivasi kerja bawahan.
- Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana
pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk
berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan
prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah
satu dari empat gaya di atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti
yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi
persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada
mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya,
pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor
situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal,
yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental
pressures and demmand (Gibson, 2003).
- Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional
ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku
pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku
tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau
sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik
bawahan mencakup tiga hal, yakni:
1)
Letak Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan
keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai
letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka
peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka
yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh
dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal
cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative,
sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinandirective.
2)
Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk
menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang
tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive,
sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianismrendah cenderung
memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
3)
Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman
bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan
pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang
telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi
yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka
memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang
tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented,
sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin
yang supportive.
- Karakteristik Lingkungan
pada faktor situasional
ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan
menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1)
Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan
tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2)
Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat
berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk
mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan
terdiri dari tiga hal, yaitu:
1)
Struktur Tugas
Struktur kerja yang
tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2)
Wewenang Formal
Kepemimpinan yang
direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan participative bagi organisasi
dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3)
Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan
tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Dalam dunia kerja, model
kepemimpinan banyak digunakan dengan berbagai model dengan tujuan untuk mendapatkan
hasil yang memuaskan, baik bagi perusahaan maupun para pekerjanya. Teori path
goal ini nampaknya baik digunakan, karena baik pemimpin maupun bawahan
sama-sama bekerja untuk mencapai hasil yang maksimal. Teori ini tidak
mengesampingkan kepentingan pekerja, namun juga tidak mengesampingkan
kepentingan perusahaan.
Perbandingan antara beberapa pendekatan
situasional
Adalah teori kontijensi
yang memusatkan perhatian pada pengikut Mengatakan :
Ø
Jika pengikut tidak
mampu & tidak ingin melakukan tugas pemimpin perlu memberikan alasan yg
khusus dan jelas.
Ø
Jika pengikut tidak
mampu & ingin pemimpin perlu memaparkan orientasi tugas tugas yg tinggi.
Ø
Jika pengikut mampu
& tidak ingin, pemimpin perlu mendukung dan partisipatif Jika pengikut
mampu & ingin, pemimpin tidak perlu berbuat banyak
Beberapa masalah lain mengenai kepemimpinan.
1. Belum secara rutin minimal tiap
bulan sekali dari seluruh unsur pimpinan pengadilan melakukan pembinaan
terhadap bawahan atau stafnya.
Pemecahannya
: Digiatkan pelaksanaan pembinaan dari Ketua dan wakil ketua pengadilan
terhadap seluruh hakim dan pegawai.
- Panitera/sekretaris terhadap jajaran kepaniteraan dan kesekretariatan
- Wakil Panitera terhadap jajaran kepaniteraan dan wakil sekretaris terhadap
jajaran kesekretariatan.
- Kapala bagian kepegawaian, keuangan, umum, panitera muda perkara dan
hukum kepada stafnya masing- masing.
2. Masih adanya kekurangan
pengetahuan tentang kepemimpinan pada pimpinan pengadilan.
Diadakan pendidikan dan pelatihan tentang kepemimpinan.
3. Belum tingginya kesadaran
untuk mewujudkan visi dan misi pengadilan.
Memberikan motivasi kepada seluruh pegawai akan tugas dan tanggung jawab
kinerja pengadilan. Apalagi saat sekarang Mahkamah Agung telah dijadikan
percontohan dalam reformasi birokrasi.
4. Belum secara tegas
penjatuhan sanksi terhadap staf atau bawahan.
Dengan keluarnya Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 071/KMA/SK/V/2008
tanggal 14 Mei 2008 tentang Ketentuan Penegakan Disiplin Kerja Dalam
Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri pada
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya, dapat dijadikan
dasar untuk meningkatkan disiplin kerja sekaligus penjatuhan sanksi.
5. Masih terjadinya
perselisihan antara unsur pimpinan pengadilan
Perlu adanya komunikasi antara unsur pimpinan.
Menempatkan gaya kepemimpinan (1. Visionary, kepemimpinan yang memiliki
Visi sehingga mampu membawa staf ketujuan bersama 2. Coaching, kepemimpinan
yang memberikan kesempatan pengasuhan ataupun pembelajaran 3. Affiliate,
kepemimpinan yang mengedepankan keharmonisan ataupun kerja sama antar fungsi 4.
Democratic, kepemimpinan yang menghargai pendapat ataupun sudut pandang orang
lain, sekalipun berbeda 5. Pacesetting, kepemimpinan yang mampu memberikan
model pencapaian sehingga lebih membumi 6. Commanding, kepemimpinan yang dapat
bersikap tegas serta berani mengambil resiko, jika diperlukan) sesuai dengan
situasi dan kondisi.
6. Masih adanya pimpinan yang
tidak mau untuk mengikuti perkembangan teknologi.
Mengadakan pelatihan bagi unsur pimpinan pengadilan tentang teknologi
informasi. Minimal sudah dapat mengoperasikan program Ms-Word,
program aplikasi : Keuangan, kepegawaian, barang milik negara, Sistem Akuntasi
Instansi (SAI), Sistem Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (SAKPA), Sistem
Akuntasi Barang Milik Negara (SABMN) yang sekarang diubah menjadi Sistem
Informasi Manajen dan Akuntasi Keuangan Barang Milik Negara (SIMAKBMN),
penyusunan RKA-KL (Rencana Kerja Anggaran-Kementrian Lembaga).
Membuat desk-service, web-site, e-mail untuk
mempermudah akses publik sebagai wujud transparansi pengadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar